oleh : Ajeng Leodita Anggarani
Memiliki seorang pasangan baik itu pacar ataupun suami adalah harapan bagi semua perempuan. Di awal hubungan semua biasanya akan terlihat begitu sempurna. Kekurangan masing – masing di tutupi dengan sebaik mungkin. Intinya semua berjalan begitu menyenangkan. Tapi bagaimana jika dipertengahan hubungan semua sifat asli dari pasangan mulai membuat kita muak? Ingin menyudahi tapi cinta, ingin melanjutkan tapi tidak nyaman.
Ini pengalaman saya saat memiliki hubungan dengan seorang pria yang kadar pendiamnya di atas rata – rata (menurut saya) dan tidak romantis. Selama kami pacaran di tahun pertama semuanya terasa menyenangkan. Dari awal memang dia terlihat sebagai sosok kalem, pendiam, dan tidak banyak tingkah. Namun tiap kali bertemu, ia selalu mencoba keluar dari kebiasaannya itu. Ia lebih sering memulai obrolan, melontarkan candaan khas orang pacaran, memuji walaupun saya jelas tidak cantik. Saat itu dia masih duduk di semester akhir. Dan selama dia skripsi saya selalu membantu dan mengingatkan dia untuk giat belajar. Dan kami lakukan itu setiap hari.
Namun masuk di tahun kedua, saya mulai melihat banyak perubahan dalam dirinya. Dan ini drastis. Ia lebih sering diam. Saat kami bertemu pun ia tak banyak bicara. Namun kebiasaan menggandeng, merangkul itu masih dilakukan. Saya masih belum mau menanyakan kenapa – dan kenapa. Buat saya mungkin ini karena ia sedang banyak masalah di kantor. Saya pun akhirnya terbiasa dengan kondisi ini.
Saat masuk di tahun ketiga hubungan kami, semua terasa semakin rancu. Kami tak lagi bisa bicara dari hati ke hati. Telepon, sms, bbm sudah semakin jarang dilakukan. Dalam satu minggu kami hanya bertemu satu kali. Dan itupun hanya untuk makan di luar rumah, nonton, atau sekedar belanja. Saat menunggu jam nonton, ia lebih memilih membaca komik yang tak pernah lupa ia bawa kemanapun ia pergi. Dan saya hanya menjadi penonton yang tak bisa memberikan komentar apapun. Saat saya mengatakan ingin melanjukan kuliah, saya ajak dia bicara. Maksudnya meminta pendapat. Tapi ia hanya menjawab,”kamu cari info aja di internet, nanti biayanya berapa biar aku yang urus.” Padahal harapan saya dia bisa diajak sharing, bisa memberikan saya saran. Bukan semata – mata biaya yang dia urus. Saya juga pernah mengatakan ingin membuka usaha apa. Saya coba ajak dia bicara tentang usaha apa yang akan dibangun, namun jawabannya hanya,”kamu pilih aja bisnis apa yang enak, nanti modalnya aku siapin..”. Saya merasa sendirian akhirnya. Ia tak lagi bisa diajak bertukar pikiran.
Jujur saya pun akhirnya kesal dengan situasi seperti ini. Hubungan kami baru berjalan 3 tahun dan dia sudah menunjukkan perilakunya yang tidak menyenangkan.
Saya pernah berkonsultasi pada mamanya. Beliau hanya mengatakan bahwa itu seperti factor keturunan. Papanya juga sangat pendiam. Memang bisa terlihat saat saya datang kerumahnya. Papanya lebih sering menghabiskan waktu menonton televisi atau membaca buku dibanding ikut ngobrol bersama. Dan katanya itu sudah menjadi kebiasaannya selama puluhan tahun hidup bersama.
Akhirnya karena saya mulai habis kesabaran, saya minta waktu untuk bicara empat mata. Disana saya ungkapkan semua kegalauan saya. Kurang lebih kami bicara selama 3 jam. Ia mendengar semua ucapan saya, dan menyimak semua tanpa bicara sepatah kata pun. Selang beberapa menit akhirnya Ia pun membuka suara. Dia mengatakan bahwa selama ini saya tak pernah mengatakan dan tak pernah mengeluhkan semua sikapnya. Jadi ia pikir semua baik – baik saja. Sesungguhnya dia kadang memiliki masalah di kantor tapi ia segan menceritakan pada saya karena tidak mau saya ikut terbebani dengan masalahnya. Saat itu semua uneg – uneg saya keluarkan. Saya tak lagi ingin berbasa – basi. Dilihat dari usia hubungan kami yang terhitung tidak sebentar. Ia pun bisa menerima semuanya tanpa berkilah. Ia mengakui kesalahannya selama ini. ia menyadari bahwa ia memang terlalu pendiam. Karena ia belum bisa membagi antara dunia pekerjaan dengan kehidupan sehari – hari. Setiap yang terjadi ia pendam sendiri. Ia berusaha mencari sendiri jalan keluarnya.
Disini bisa disimpulkan, bahwa terkadang sifat asli kita tak selalu bisa diterima dengan baik oleh pasangan. Komunikasi itu penting. Kesibukkan anda di tempat kerja jangan sampai menyita waktu anda dengan pasangan atau keluarga. Orang yang pendiam tidak selalu baik. Karena bisa jadi orang salah menyimpulkan. Biasakanlah mengevaluasi hubungan anda dengan pasangan. Katakan apa yang anda sukai (harapkan) dan apa yang tidak. Jangan biarkan rasa kesal, muak, menggunung dan menjadi kejenuhan tingkat tinggi. Dan akhirnya berpisah di tengah jalan. Untuk para pria, wanita tidak hanya butuh materi, ia butuh teman berbagi. Butuh teman bercerita. Dan untuk para wanita, jika pasangan anda terlihat mulai keluar dari kebiasaannya, jangan ragu untuk menanyakan perihal tersebut. Ingat! Komunikasi yang salah bisa membuat masalah.
Salam Sayang.(Ajeng Leodita Anggarani)
sumber : Kompasiana/Kompas.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar