Pada tahun 2009, bersama seorang teman yang sama-sama tinggal di Jepang. Kami mempelajari apakah ada kemungkinan untuk mengunjungi HASHIMA, yang biasa disebut "Pulau Kapal Tempur" (Battleship island), sebuah kota hantu disebuah pulau di Jepang. Yang, walaupun hal itu Ilegal, kami toh akhirnya melakukannya juga.
Kami sudah mendengar tentang 'Pulau Kapal Tempur' (dalam bahasa Jepang : Gunkanjima) ini bahkan sebelum mendatangi Nagasaki, tetapi tidak pernah terpikir untuk menyusup kedalam sebuah pulau hantu.
Permukaan air laut tenang dan biru, dan disekeliling 'pulau Kapal Perang' ada beberapa perahu nelayan. Kadang-kadang, beberapa ikan terbang menyeruak dari permukaan air, meluncur diantara gelombang. Hashima dikelilingi oleh tembok2 beton besar yang berfungsi melindungi bangunan-bangunan dari pasang air laut dan gempuran ombak besar, dan bahkan dari Takashima kami dapat melihat orang-orang duduk diatasnya, melemparkan tali pancing mereka ke laut. Pengemudi perahu kami mengatakan bahwa para nelayan memang diizinkan pergi ke pulau itu, tetapi mereka hanya diizinkan duduk diatas tembok untuk memancing, pergi lebih dalam ke labirin bangunan-banguna terbengkalai sepertinya terlalu bahaya untuk diizinkan. Selanjutnya, dia tidak mau membawa kami ke pantai. Kamipun menawarkan sebuah kompromi : bahwa kami disana hanya untuk memancing. Problemnya, kami tidak mempunyai izin untuk memancing. Sekali lagi, kami mencoba untuk menghindari ketidaknyamanan ini, dan bertanya apakah kami bisa mendapatkan izin memancing untuk hari itu, dan diam-diam berniat untuk nanti dapat menyelinap dari dinding dan menghilang. Dia kemudian menelpon, tapi tampaknya otoritas pelabuhan tidak akan memberi izin pada kami untuk hari itu. Kami kemudian mengitari pulau itu sebentar, mengambil beberapa gambar dari atas perahu, dan setelah berdiskusi panjang tentang sejarah pulau itu, akhirnya dia memutuskan untuk menurunkan kami disana.
Dalam beberapa hal, pulau itu merupakan bukti abadi tentang sifat boros dari praktek industri yang tidak tepat. Pulau itu dimiliki oleh Mitsubishi, dan kotanya tumbuh dan dan berkembang diatas keberhasilan pertambangan batu bara-nya, persis seperti halnya Takashima.
Dengan kepadatan populasi yang mengejutkan yaitu sekitar 83.500 penduduk/km2, terlihat hampir menyerupai kota Tembok Kowloon yang pada masa jaya2nya sangat terkenal dibanding apapun. Ketika pada akhir 1960-an, minyak bumi menggantikan dominasi batubara sebagai sumber enerji yang diekspor di Jepang; akhirnya pada tahun 1974 Mitsubishi menutup pertambangan Hashima-nya. Dan dengan berakhirnya pertambangan batu bara di Hashima, Hashima menjadi kota mati ditengah laut. Satu per satu, penduduknya pindah keluar dari pulau, meninggalkan gedung-gedung kosong dibelakangnya.
Kondisi ketika Hashima adalah kota yang hidup, tidak ada sesuatupun yang bisa dibanggakan. Sejumlah pekerja dipaksa ber-imigrasi dari negeri-negeri lain. Seorang pejabat komisi Korea Selatan, misalnya, mengklaim bahwa ada 500 orang Korea yang dipaksa untuk tinggal dan bekerja disana selama perang dunia II. Untuk mereka yang tinggal disana karena kemauan sendiripun, tempat itu tetap saja masih merupakan tempat yang sangat sempit, penuh polusi, dan terkadang sangat berbahaya. Banyak perdebatan tentang hal inilah yang menjadi alasan utama ditutupnya pulau ini dari kunjungan wisatawan setelah tahun 1974. Selama beberapa dekade, pulau itu benar-benar terlarang.
Hashima seperti sesuatu yang terlupakan yang bangkit dari laut, sebuah struktur yang runtuh, lebih mirip suatu yang sangat mengerikan daripada sekedar sebuah kota yang terlupakan. Dari suatu sisi, pulau ini benar-benar terlihat menyerupai sebuah kapal perang, tapi ketika kita mendekat, gambaran itu menjadi buyar. Terlihat sangat kelabu, dengan sedikit berlepotan lumut2 hijau. Benar-benar hampir sepenuhnya tanpa kehidupan. Segala sesuatu yang menandakan adanya sebuah kota mandiri ada disana, dan benar-benar dibiarkan menjadi reruntuhan. Sebuah gedung sekolah yang setengah hancur ada disana, bangku2 dan papan2 tulis masih berada ditempatnya. Sebuah rumah sakit berdiri disana, kosong dan tak digunakan. Sejak 25 tahun lalu sejak seseorang tinggal disana, dan dengan berlalunya waktu, setiap bangunan runtuh menjadi bebatuan.
Kebetulan, perjalanan kami diwaktu yang tepat. Pulau itu kini terlihat lebih banyak dikunjungi. Pada awal2 tahun 2009, pemerintah lokal Nagasaki memulai pembangunan sebuah dermaga baru, dan juga merenovasi sebuah jalan yang melintas ke bagian timur pulau. Tujuannya adalah untuk memberikan tour terbatas disana yang dimuali pada bulan April 2009, dan ketika kami mengunjunginya dermaga ini hampir rampung. Tour atas pulau itu kini diizinkan, tetapi pengunjung tidak boleh menyimpang dari satu jalur yang sudah ditentukan, dan mereka tidak boleh menjelajahi bagian pedalaman pulau. Sedang dilakukan upaya mendaftarkannya ke UNESCO dalam daftar yang panjang sebagai salah satu Situs Peninggalan Dunia milik Jepang. Ada beberapa hal yang pantas dicatat dalam hal ini : ialah riwayat bangkit dan jatuhnya Pulau Kapal Perang ini adalah sama dengan riwayat kebangkitan dan kejatuhan industri batu bara di Nagasaki, dan juga kisah tentang ribuan orang yang berhasil di Hashima dan terpaksa pergi meninggalkannya. Ini adalah hal-hal yang menarik dari sejarah Nagasaki.
Di satu sisi, sepertinya memalukan memikirkan pulau tersebut untuk dijadikan tempat tujuan wisata, bahkan jika dengan ini akan mengijinkan lebih banyak orang untuk mengalami pengalaman merasakan keseraman yang ada. Bagaimanapun, bahkan sebagai sebuah pulau yang dulunya tak tersentuh dan dirubah dengan renovasi modern dan pengunjung yang banyak, tempat itu tetap saja masih sangat kontras dengan alam pesisir yang mengelilinginya. Sebuah tempat yang suram, abu-abu dan tak terlupakan, sebuah monumen beton yang nemjulang untuk menandai kejatuhan sebuah industri raksasa yang pernah ada. Dan ceriteranya tak pernah bisa dirubah.
Author Anonymous For Obvious Reasons – Copyrighted © www.weirdworm.com
Original Posting :
http://www.weirdworm.com/sneaking-into-hashima-japans-battleship-island-ghost-town/
Kami sudah mendengar tentang 'Pulau Kapal Tempur' (dalam bahasa Jepang : Gunkanjima) ini bahkan sebelum mendatangi Nagasaki, tetapi tidak pernah terpikir untuk menyusup kedalam sebuah pulau hantu.
Pulau ini berada dilepas pantai kota Nagasaki, sepi dan berhantu, dan telah ditutup untuk umum sejak 1970-an. Mengunjungi tempat ini akan berakibatkan ditahan atau tinggal selama sebulan didalam penjara Jepang, ataupun dideportasi. Kami tidak pernah
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan ini, walaupun memperkirakan akan adanya suatu romantisme dan petualangan disana. Pikiran ini berubah seminggu kemudian, ketika pada suatu percakapan dengan orang-orang ditempat dimana kami bertanya-tanya, ternyata ada beberapa orang telah pernah pergi dan tiba ditempat itu. Tidak terlalu sulit, kata mereka. Seketika, bagi kami 'buah terlarang' dari Pulau Hantu sepertinya tinggal di genggam saja, dan kita tahu kita akan mencobanya.
Kata mereka, cara yang termudah untuk menyelinap kedalam Hashima, adalah dengan pergi ke pulau tetangga yang terdekat, Takashima. 'Dari Takashima, bayarlah seseorang yang dengan speedboatnya akan menyeberangkan kalian'. Kamipun memutuskan untuk melakukan itu.
Kami berangkat dari Nagasaki pagi-pagi sekali dengan kapal ferry dengan tujuan Takashima, dan menghirup nikmatnya kopi selama hampir sejam perjalanan kapal. Takashima sendiri sebagian besarnya tidak terlalu terkenal (terutama dibandingkan dengan tetangganya), tetapi dalam banyak hal ceritera-ceritera tentangnya bercermin pada Hashima.
Seperti halnya Hashima, sejarah Takashima adalah berkisar tentang pertambangan batubara. Berabad-abad lamanya, penduduk Takashima dikatakan telah mengumpulkan batu bara dari hasil mengolah bongkahan2 batu disepanjang pantainya, dan dipertengahan abad kedelapanbelas, mulai meng-ekspornya. Dengan berlalunya waktu, sistim pertambangan di Takashima menjadi suatu kesuksesan yang besar, dan menunjang pembangunan dipulau itu. Pada masa puncak produksinya, penduduk dipulau itu mencapai 20.000 orang.
Populasi penduduk di Takashima sekarang ini telah menurun menjadi hanya kurang lebih 600 orang, dan mayoritas dari mereka bertempat tinggal disebuah kompleks apartemen yang besar ditengah pulau itu. Dikelilingi oleh sebuah konstelasi rumah-rumah tua yang tersebar sekitarnya, dan sarana2 yang merupakan sisa-sisa peninggalan dari apa yang pernah menjadi dinaminasi komunitas mereka seperti lapangan-lapangan tennis yang tidak berjaring, trotoar retak dan kotor, tiang2 bola basket yang bengkok oleh tiupan angin, meja2 piknik yang membusuk. Juga beberapa tempat yang ditumbuhi hutan2 lebat, dan menjadi tempat tumbuhnya semak2 belukar yang liar. Ini terlihat tak jauh dari pelabuhan.
Begitu kami turun dari kapal, kami langsung disambut oleh seorang petugas polisi dengan pandangan yang curiga. Dia menanyakan 'Kartu Registrasi Orang Asing' kami, dan mencatat beberapa informasi dari kami. Ketika dia menanyakan alasan kami mendatangi pulau itu, kami mengatakan bahwa kami bermaksud mengambil beberapa foto pulau ini. Dia mengatakan kepada kami bahwa dibutuhkan sekitar satu jam untuk berjalan di sekitar pulau, dan bahwa ia akan menunggu kami di dermaga. Dia jelas tidak mempercayai bahwa kami telah melakukan perjalanan sejauh ini hanya untuk sekedar menikmati suasana petang dengan melihat-lihat sebuah pulau yang tidak jauh berbeda dari pulau lainnya yang ada di Nagasaki. Hal ini baginya tidaklah masuk akal dan mencurigakan.
Setelah semua itu; Takashima memang sangat dekat dengan Hashima, dan juga merupakan sumber yang berlimpah dengan tumbuhan ganja yang tumbuh secara alami. Sebenarnya tak banyak alasan untuk mengunjungi Takashima jika tidak tertarik dengan hal-hal tersebut diatas. Dan itupun adalah hal-hal yang ilegal. Namun kami tak dapat dihalangi, dan setelah berbasa-basi sedikit, kami berjalan jauh kesisi-sisi lain pulau dan mencari seseorang nelayan yang bisa kami suap. Kami dengan cepat menemukan seseorang pemilik perahu yang mau membawa kami ke Hashima dengan imbalan sedikit uang dan beberapa bir murah dingin. Kami dengan senang hati menerima deal itu, dan segera berlari singkat ke satu-satunya toko yang menyenangkan dipulau itu, membeli setengah lusin bir kaleng, dan berlari kembali ke dermaga.
mempertimbangkan kemungkinan-kemungkinan ini, walaupun memperkirakan akan adanya suatu romantisme dan petualangan disana. Pikiran ini berubah seminggu kemudian, ketika pada suatu percakapan dengan orang-orang ditempat dimana kami bertanya-tanya, ternyata ada beberapa orang telah pernah pergi dan tiba ditempat itu. Tidak terlalu sulit, kata mereka. Seketika, bagi kami 'buah terlarang' dari Pulau Hantu sepertinya tinggal di genggam saja, dan kita tahu kita akan mencobanya.
Kata mereka, cara yang termudah untuk menyelinap kedalam Hashima, adalah dengan pergi ke pulau tetangga yang terdekat, Takashima. 'Dari Takashima, bayarlah seseorang yang dengan speedboatnya akan menyeberangkan kalian'. Kamipun memutuskan untuk melakukan itu.
Kami berangkat dari Nagasaki pagi-pagi sekali dengan kapal ferry dengan tujuan Takashima, dan menghirup nikmatnya kopi selama hampir sejam perjalanan kapal. Takashima sendiri sebagian besarnya tidak terlalu terkenal (terutama dibandingkan dengan tetangganya), tetapi dalam banyak hal ceritera-ceritera tentangnya bercermin pada Hashima.
Seperti halnya Hashima, sejarah Takashima adalah berkisar tentang pertambangan batubara. Berabad-abad lamanya, penduduk Takashima dikatakan telah mengumpulkan batu bara dari hasil mengolah bongkahan2 batu disepanjang pantainya, dan dipertengahan abad kedelapanbelas, mulai meng-ekspornya. Dengan berlalunya waktu, sistim pertambangan di Takashima menjadi suatu kesuksesan yang besar, dan menunjang pembangunan dipulau itu. Pada masa puncak produksinya, penduduk dipulau itu mencapai 20.000 orang.
Populasi penduduk di Takashima sekarang ini telah menurun menjadi hanya kurang lebih 600 orang, dan mayoritas dari mereka bertempat tinggal disebuah kompleks apartemen yang besar ditengah pulau itu. Dikelilingi oleh sebuah konstelasi rumah-rumah tua yang tersebar sekitarnya, dan sarana2 yang merupakan sisa-sisa peninggalan dari apa yang pernah menjadi dinaminasi komunitas mereka seperti lapangan-lapangan tennis yang tidak berjaring, trotoar retak dan kotor, tiang2 bola basket yang bengkok oleh tiupan angin, meja2 piknik yang membusuk. Juga beberapa tempat yang ditumbuhi hutan2 lebat, dan menjadi tempat tumbuhnya semak2 belukar yang liar. Ini terlihat tak jauh dari pelabuhan.
Begitu kami turun dari kapal, kami langsung disambut oleh seorang petugas polisi dengan pandangan yang curiga. Dia menanyakan 'Kartu Registrasi Orang Asing' kami, dan mencatat beberapa informasi dari kami. Ketika dia menanyakan alasan kami mendatangi pulau itu, kami mengatakan bahwa kami bermaksud mengambil beberapa foto pulau ini. Dia mengatakan kepada kami bahwa dibutuhkan sekitar satu jam untuk berjalan di sekitar pulau, dan bahwa ia akan menunggu kami di dermaga. Dia jelas tidak mempercayai bahwa kami telah melakukan perjalanan sejauh ini hanya untuk sekedar menikmati suasana petang dengan melihat-lihat sebuah pulau yang tidak jauh berbeda dari pulau lainnya yang ada di Nagasaki. Hal ini baginya tidaklah masuk akal dan mencurigakan.
Setelah semua itu; Takashima memang sangat dekat dengan Hashima, dan juga merupakan sumber yang berlimpah dengan tumbuhan ganja yang tumbuh secara alami. Sebenarnya tak banyak alasan untuk mengunjungi Takashima jika tidak tertarik dengan hal-hal tersebut diatas. Dan itupun adalah hal-hal yang ilegal. Namun kami tak dapat dihalangi, dan setelah berbasa-basi sedikit, kami berjalan jauh kesisi-sisi lain pulau dan mencari seseorang nelayan yang bisa kami suap. Kami dengan cepat menemukan seseorang pemilik perahu yang mau membawa kami ke Hashima dengan imbalan sedikit uang dan beberapa bir murah dingin. Kami dengan senang hati menerima deal itu, dan segera berlari singkat ke satu-satunya toko yang menyenangkan dipulau itu, membeli setengah lusin bir kaleng, dan berlari kembali ke dermaga.
Permukaan air laut tenang dan biru, dan disekeliling 'pulau Kapal Perang' ada beberapa perahu nelayan. Kadang-kadang, beberapa ikan terbang menyeruak dari permukaan air, meluncur diantara gelombang. Hashima dikelilingi oleh tembok2 beton besar yang berfungsi melindungi bangunan-bangunan dari pasang air laut dan gempuran ombak besar, dan bahkan dari Takashima kami dapat melihat orang-orang duduk diatasnya, melemparkan tali pancing mereka ke laut. Pengemudi perahu kami mengatakan bahwa para nelayan memang diizinkan pergi ke pulau itu, tetapi mereka hanya diizinkan duduk diatas tembok untuk memancing, pergi lebih dalam ke labirin bangunan-banguna terbengkalai sepertinya terlalu bahaya untuk diizinkan. Selanjutnya, dia tidak mau membawa kami ke pantai. Kamipun menawarkan sebuah kompromi : bahwa kami disana hanya untuk memancing. Problemnya, kami tidak mempunyai izin untuk memancing. Sekali lagi, kami mencoba untuk menghindari ketidaknyamanan ini, dan bertanya apakah kami bisa mendapatkan izin memancing untuk hari itu, dan diam-diam berniat untuk nanti dapat menyelinap dari dinding dan menghilang. Dia kemudian menelpon, tapi tampaknya otoritas pelabuhan tidak akan memberi izin pada kami untuk hari itu. Kami kemudian mengitari pulau itu sebentar, mengambil beberapa gambar dari atas perahu, dan setelah berdiskusi panjang tentang sejarah pulau itu, akhirnya dia memutuskan untuk menurunkan kami disana.
Dalam beberapa hal, pulau itu merupakan bukti abadi tentang sifat boros dari praktek industri yang tidak tepat. Pulau itu dimiliki oleh Mitsubishi, dan kotanya tumbuh dan dan berkembang diatas keberhasilan pertambangan batu bara-nya, persis seperti halnya Takashima.
Dengan kepadatan populasi yang mengejutkan yaitu sekitar 83.500 penduduk/km2, terlihat hampir menyerupai kota Tembok Kowloon yang pada masa jaya2nya sangat terkenal dibanding apapun. Ketika pada akhir 1960-an, minyak bumi menggantikan dominasi batubara sebagai sumber enerji yang diekspor di Jepang; akhirnya pada tahun 1974 Mitsubishi menutup pertambangan Hashima-nya. Dan dengan berakhirnya pertambangan batu bara di Hashima, Hashima menjadi kota mati ditengah laut. Satu per satu, penduduknya pindah keluar dari pulau, meninggalkan gedung-gedung kosong dibelakangnya.
Kondisi ketika Hashima adalah kota yang hidup, tidak ada sesuatupun yang bisa dibanggakan. Sejumlah pekerja dipaksa ber-imigrasi dari negeri-negeri lain. Seorang pejabat komisi Korea Selatan, misalnya, mengklaim bahwa ada 500 orang Korea yang dipaksa untuk tinggal dan bekerja disana selama perang dunia II. Untuk mereka yang tinggal disana karena kemauan sendiripun, tempat itu tetap saja masih merupakan tempat yang sangat sempit, penuh polusi, dan terkadang sangat berbahaya. Banyak perdebatan tentang hal inilah yang menjadi alasan utama ditutupnya pulau ini dari kunjungan wisatawan setelah tahun 1974. Selama beberapa dekade, pulau itu benar-benar terlarang.
Hashima seperti sesuatu yang terlupakan yang bangkit dari laut, sebuah struktur yang runtuh, lebih mirip suatu yang sangat mengerikan daripada sekedar sebuah kota yang terlupakan. Dari suatu sisi, pulau ini benar-benar terlihat menyerupai sebuah kapal perang, tapi ketika kita mendekat, gambaran itu menjadi buyar. Terlihat sangat kelabu, dengan sedikit berlepotan lumut2 hijau. Benar-benar hampir sepenuhnya tanpa kehidupan. Segala sesuatu yang menandakan adanya sebuah kota mandiri ada disana, dan benar-benar dibiarkan menjadi reruntuhan. Sebuah gedung sekolah yang setengah hancur ada disana, bangku2 dan papan2 tulis masih berada ditempatnya. Sebuah rumah sakit berdiri disana, kosong dan tak digunakan. Sejak 25 tahun lalu sejak seseorang tinggal disana, dan dengan berlalunya waktu, setiap bangunan runtuh menjadi bebatuan.
Kebetulan, perjalanan kami diwaktu yang tepat. Pulau itu kini terlihat lebih banyak dikunjungi. Pada awal2 tahun 2009, pemerintah lokal Nagasaki memulai pembangunan sebuah dermaga baru, dan juga merenovasi sebuah jalan yang melintas ke bagian timur pulau. Tujuannya adalah untuk memberikan tour terbatas disana yang dimuali pada bulan April 2009, dan ketika kami mengunjunginya dermaga ini hampir rampung. Tour atas pulau itu kini diizinkan, tetapi pengunjung tidak boleh menyimpang dari satu jalur yang sudah ditentukan, dan mereka tidak boleh menjelajahi bagian pedalaman pulau. Sedang dilakukan upaya mendaftarkannya ke UNESCO dalam daftar yang panjang sebagai salah satu Situs Peninggalan Dunia milik Jepang. Ada beberapa hal yang pantas dicatat dalam hal ini : ialah riwayat bangkit dan jatuhnya Pulau Kapal Perang ini adalah sama dengan riwayat kebangkitan dan kejatuhan industri batu bara di Nagasaki, dan juga kisah tentang ribuan orang yang berhasil di Hashima dan terpaksa pergi meninggalkannya. Ini adalah hal-hal yang menarik dari sejarah Nagasaki.
Di satu sisi, sepertinya memalukan memikirkan pulau tersebut untuk dijadikan tempat tujuan wisata, bahkan jika dengan ini akan mengijinkan lebih banyak orang untuk mengalami pengalaman merasakan keseraman yang ada. Bagaimanapun, bahkan sebagai sebuah pulau yang dulunya tak tersentuh dan dirubah dengan renovasi modern dan pengunjung yang banyak, tempat itu tetap saja masih sangat kontras dengan alam pesisir yang mengelilinginya. Sebuah tempat yang suram, abu-abu dan tak terlupakan, sebuah monumen beton yang nemjulang untuk menandai kejatuhan sebuah industri raksasa yang pernah ada. Dan ceriteranya tak pernah bisa dirubah.
Author Anonymous For Obvious Reasons – Copyrighted © www.weirdworm.com
Original Posting :
http://www.weirdworm.com/sneaking-into-hashima-japans-battleship-island-ghost-town/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar