“Bagaimana kita menikmati hidup itu seperti duduk di depan perapian. Terlalu jauh dingin, terlalu dekat panas.”
Dalam perjalananan menuju Sydney bulan Oktober tahun lalu, saya
berkenalan dengan seorang nenek, berusia sekitar 65 tahun. Ia terbang
sendirian dan bermaksud menengok salah satu anak dan cucunya yang
tinggal menetap di Sydney. Kami sempat ngobrol banyak hal, termasuk
kehidupan anak-anaknya di luar negeri, yang menurutnya kehidupannya
sangat teratur.
“Tapi saya nggak betah hidup di Sydney!” katanya.
“Lho, kok?” saya berusaha menyelidik alasannya.
“Berat Dik, naik turun apartemen, jalan kaki, kalau mau pergi jauhan
dikit naik kereta, biar murah. Tapi repot kalau harus bawa barang –
barang belanjaan.”
Meski agak heran, saya mengangguk dan tersenyum saja mendengar jawaban
jujur itu. Saya maklum, usia ibu ini memang sudah tidak muda lagi,
sehingga hal ‘sepele’ seperti itu memang akan menjadi masalah besar
baginya. Lagi pula, aktivitas seperti itu tidak biasa ia lakukan di
Jakarta.
Pastilah, kalau dilihat dari penampilannya, ibu ini tidak pernah
melakukan segala sesuatu sendirian. Ia pasti menggaji sopir yang selalu
siap mengantarnya dari pintu ke pintu: pintu rumah ke pintu mall, pintu
rumah sakit, pintu kantor atau tempat-tempat lain. Juga, untuk pekerjaan
rumah tangga, pastilah banyak pembantu yang dia bayar untuk
mengurusnya.
Secara tidak sengaja, sesampai di Sydney, saya juga mendapatkan
cerita bahwa banyak mahasiswa Indonesia di sana yang mengalami masalah
sama dengan ibu yang saya kenal di pesawat itu. “Habis bagaimana Pak, di
Jakarta mereka kan anak orang – orang kaya yang tidak biasa mengurus
diri sendiri. Apa – apa disiapkan pembantu dan sopir.” kata Obed, yang
bekerja di sebuah perusahaan education services.
“Kalau Anda sendiri?”
“Yah, saya sudah lama di sini dan sudah terbiasa.” katanya sambil
menambahkan bahwa semua tergantung kepada masing-masing pribadi. Ia
sendiri juga berasal dari keluarga yang cukup berada di Indonesia.
Saya lalu teringat seorang kawan di Indonesia “menduduki posisi
penting di sebuah organisasi” yang saya nilai tidak terlalu ‘rese’
dengan segala sesuatu. Ia biasa naik Metromini. Ia juga tidak sungkan
makan di Warteg dan Warung Tenda. Sebaliknya ia juga tidak kikuk keluar
masuk hotel – hotel mewah, atau klub ini itu. Semuanya ia anggap biasa –
biasa saja.
“Bagaimana kita hidup itu seperti kalau kita sedang berdiam di depan
perapian,” katanya suatu ketika. “Kita bisa duduk mendekat atau menjauhi
perapian agar terasa nyaman. Terlalu jauh dingin, terlalu dekat akan
terasa panas. Kita yang bisa mengukur diri kita sendiri.” lanjutnya.
“Nah, sama dengan kekayaan, fasilitas atau apa pun. Kita bisa
mengatur diri kita. Haruskah naik BMW atau cukup Metromini, haruskah
makan di Ahyat atau di Warung Padang, haruskah menenteng Gucci atau tas
Cibaduyut … semuanya seperti kita duduk di depan perapian. Kita yang
harus menempatkan diri kita sendiri, di mana seharusnya kita duduk.”
katanya sambil tersenyum bijak.(duniatraining.com)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar